Rekonsiliasi Tanpa Basa Basi

Sunday, 01 October 2023 Oleh Admin Kominfo
Rekonsiliasi Tanpa Basa Basi
Bagikan

Sumber Gambar : https://bandungbergerak.id/

Ditulis Oleh : Naufal Al-Zahra, S.Pd. Bidang Hukum, HAM, dan Analisis Kebijakan Publik  PW. Pemuda Persis Jawa Barat

Uraian ini ditulis sebagai respon saya terhadap unggahan-unggahan di Instagram. Sejumlah akun organisasi mahasiswa (ormawa) dengan masif menerbitkan infografis dan pamflet diskusi mengenai September Hitam.

Awalnya, saya mengira konten-konten tersebut berkaitan dengan insiden Black September yang terjadi di Olimpiade Munchen, Jerman, pada 1972. Namun, setelah saya baca isi infografis yang diunggah akun-akun itu, rupanya September Hitam yang dimaksud adalah "paket informasi" jejak pelanggaran HAM di Indonesia.

Tak kurang dari lima akun ormawa yang saya temukan, mengunggah infografis September Hitam di Instagram. Nyaris semua akun itu memiliki maksud yang sama yakni memulihkan memori kolektif netizen Indonesia bahwa masih terdapat kasus-kasus pelanggaran HAM yang belum diselesaikan oleh pemerintah dari masa ke masa.

Mereka urutkan deretan peristiwa yang menciderai hak-hak kodrati manusia itu berikut juga dengan penjelasan singkatnya. Dari mulai Tragedi Pembantaian 1965, Insiden Tanjungpriok, Peristiwa Semanggi II, hingga kematian misterius seorang aktivis HAM, Munir Said Thalib pada 2004 silam.

Sekali pun karya-karya ormawa ini hanya sekadar menyajikan informasi pada netizen. Sebagai orang yang pernah aktif di ormawa, saya memahami betapa jelinya perhatian aktivis mahasiswa terhadap kasus-kasus HAM. Atas kepekaan ormawa terhadap isu-isu tersebut, nampaknya kita masih tetap harus mengacungi jempol pada mereka.

Wacana Musiman

Salah satu isu HAM di Indonesia yang telah masyhur menjadi wacana musiman setiap memasuki bulan September ialah kasus pembantaian pasca-G30S 1965. Selama ini, nampaknya perhatian publik jauh lebih besar tertuju pada peristiwa malam jahanam 30 September hingga 1 Oktober 1965 yang menewaskan beberapa perwira TNI AD.

Di balik tewasnya sejumlah perwira TNI AD, sesungguhnya terdapat sebuah ekses mengerikan yang sepertinya belum diketahui sepenuhnya oleh publik. Sebanyak ribuan bahkan konon ratusan ribu aktivis dan simpatisan PKI tewas lantaran menjadi korban kekerasan kelompok-kelompok anti-komunis yang disponsori TNI AD.

M.C. Ricklefs dalam buku Sejarah Indonesia Modern (2001), menyatakan bahwa insiden tersebut umumnya marak terjadi di Pulau Jawa dan Bali. Wilayah yang terkenal menjadi basis gerakan PKI di Jawa adalah Jawa Tengah dan sebagian Jawa Timur.

Pasca-G30S, perhatian TNI AD langsung tertuju pada PKI. Sejak lama, TNI AD menaruh rasa curiga yang begitu dalam pada PKI. Mereka melihat PKI sebagai anasir yang berbahaya. Apalagi pada masa sebelumnya, PKI pernah melakukan "dosa besar" di Madiun pada 1948.

Rasa curiga itu berbuah menjadi kenyataan setelah sebagian pemimpin TNI AD menyaksikan pemimpin satuan mereka dibunuh oleh unsur-unsur PKI yang berasal dari internal satuan mereka sendiri. Sebagai bentuk pembalasan dendam, maka nyawa segelintir perwira militer itu, dibayar kontan dengan nyawa manusia yang jumlahnya tak terkira sejak awal Oktober 1965 hingga awal tahun 1966.

Sebagian di antara aktivis PKI yang tidak dibunuh, diasingkan oleh Rezim Orde Baru ke Pulau Buru. Pramoedya Ananta Toer termasuk orang yang pernah mendekam di pulau itu. Sebelumnya ia dikenal sebagai aktivis Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), organisasi kebudayaan onderbouw PKI.

Saya kira, kita tidak perlu lagi mencari alasan untuk tidak mengatakan peristiwa tersebut sebagai bentuk pelanggaran HAM. Segala bentuk aksi yang menindas hak-hak kodrati manusia harus kita hadapi dan perangi.

Rezim Orde Baru menyisakan sejumlah "dosa besar" yang belum jua mampu ditebus hingga hari ini. Sejak memasuki era Reformasi, suara-suara yang bernada menuntut keadilan atas berbagai pelanggaran HAM mulai terdengar nyaring.

Keluarga eks-aktivis dan simpatisan PKI yang menjadi korban kekerasan pada 1965-1966 tak luput bersuara meminta keadilan. Mereka ingin supaya pemerintah menyampaikan permohonan maaf secara resmi kepada publik atas insiden tersebut.

Melawan Lupa

Sekilas, bagi sebagian orang, memaafkan mereka adalah hal yang mudah. Namun, perlu diingat, jika keluarga eks-aktivis atau simpatisan PKI tersebut menuntut rekonsiliasi dan permohonan maaf dari pemerintah. Maka, bagaimana dengan perasaan keluarga korban pembantaian di Madiun pada 1948 yang jelas didalangi oleh PKI maupun pihak yang merasa dirugikan oleh aksi sepihak PKI di daerah?

Belasan tahun sebelum nyawa para aktivis dan simpatisan PKI berjatuhan pada 1965-1966, darah tertumpah ruah di Madiun. Ketika masyarakat Indonesia sibuk berjuang menghadapi Belanda, di Madiun, muncul sebuah kelompok bernama Front Demokrasi Rakyat (FDR) yang berisi aliansi partai maupun organisasi kiri. PKI menjadi organisasi paling besar yang terlibat dalam kelompok ini.

FDR awalnya muncul sebagai oposisi pemerintah di bawah komando Amir Sjarifudin. Tetapi, setelah FDR dikendalikan Muso, seorang elite PKI yang baru pulang dari luar negeri, FDR segera berubah menjadi kelompok yang beringas. Ia secara terbuka, melakukan makar dengan mengumumkan pembentukan Republik Soviet Indonesia di Madiun pada 18 September 1948.

Di bawah pimpinannya, Gerakan FDR menyasar orang-orang yang tak sepaham dengan ide perjuangan mereka. George McTurnan Kahin dalam buku Nasionalisme dan Revolusi Indonesia (2023), menerangkan bahwa orang-orang PKI terlibat dalam aksi pembunuhan para birokrat non-kiri, para kiai, santri, serta para aktivis Masyumi dan PNI. Mereka juga menyerang, merusak beberapa infrastruktur publik seperti pondok pesantren di Madiun dan sekitarnya.

Perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia terganggu sejenak akibat makar FDR di Madiun. Meski demikian, nasib Republik Soviet Indonesia tak berumur panjang. Dengan relatif cepat, gerakan makar ini dapat diatasi oleh Divisi Siliwangi TNI AD.

Kemudian, memasuki dekade 1960-an, aksi PKI cukup meresahkan para pemilik tanah khususnya di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Setelah PKI menetapkan musuh-musuh mereka dengan kategori "tujuh setan desa" yang disusul kebijakan agraria yang lamban, membuat PKI semakin leluasa bertingkah, mengancam para pemilik tanah.

Para kiai yang biasanya memiliki tanah untuk dijadikan pondok pesantren tidak menerima aksi sepihak PKI. Akibat hal semacam ini, seringkali aktivis PKI terlibat bentrokan dengan para santri, hingga tak sedikit yang meregang nyawa.

Menengok fakta sejarah yang terurai kusut itu, kita harus peka bahwa mengabulkan permintaan rekonsiliasi dari keluarga eks-PKI bukanlah perkara yang mudah. Jika mereka menuntut pemerintah, pihak lain yang pernah merasa menjadi korban PKI di Madiun, kemungkinan akan turut bersuara pula. Ujungnya, atmosfer harmonis sesama anak bangsa akan keruh kembali.

Rekonsiliasi Tanpa Basa Basi

Pilihan paling bijaksana dalam menyikapi jejak insiden di masa lampau adalah dengan memunculkan tekad rekonsiliasi secara alami, tanpa ditekan dari atas. Semua pihak harus berusaha untuk saling memaafkan dan bersepakat bahwa rentetan kekerasan itu telah selesai di masa lampau.

Reportase yang diterbitkan oleh Tim Jejak Islam untuk Bangsa (JIB) pada 2016 silam, cukup menarik perhatian saya. Mereka berhasil mewawancarai orang-orang yang pernah ditahan di Pulau Buru akibat disangkutpautkan dengan PKI.

Salah seorang yang diwawancarai oleh tim ini adalah Haji Bajuri (79 th, pada 2016). Ia pernah diasingkan oleh Rezim Orde Baru selama 9 tahun (1970-1979).

Dikutip dari situs jejakislambangsa.net pada 15 September 2023 Haji Bajuri berkata pada reporter JIB tentang isu rekonsiliasi yang diajukan keluarga eks-PKI. Ia berkata:

 “Saya sejak lama sudah menerima dengan ikhlas, masa bodoh dengan isu-isu rekonsiliasi. Sejak dulu saya bersama tetangga sudah rekonsiliasi, kini hidup biasa saja, semuanya sudah selesai." tuturnya.

Di samping itu, eks-aktivis dan simpatisan PKI yang dahulu terang-terangan mengatakan "matine Gusti Allah" justru sebagian di antaranya kembali menjadi muslim tulen setelah menengok anak-cucu mereka giat beribadah dan fasih membaca Al-Quran, seperti yang terjadi di Kampung Jogokariyan, bekas wilayah basis PKI di Yogyakarta.

Harus kita akui, dinamika sosial hari ini jauh berbeda dari era Orde Baru. Diskriminasi terhadap keluarga eks-PKI perlahan makin memudar. Sebagian di antara mereka telah mencapai kedudukan penting di tengah masyarakat kita. Semua anak bangsa, kini telah berbaur dan bekerjasama tanpa pandang bulu.

Tugas yang dipikul generasi hari ini bukanlah mewariskan perasaan buruk dari generasi sebelumnya. Tugas mahabesar yang kini hadir di bahu kita sebagai anak bangsa ialah menghadapi masa depan. Berusaha mengukir amal terbaik untuk menciptakan hidup yang adil dan makmur seraya tidak mengulangi kembali kesalahan generasi yang telah lalu.