Ketika Priyayi Sumedang Menentang Sarekat Islam

Wednesday, 23 August 2023 Oleh Admin Kominfo
Ketika Priyayi Sumedang Menentang Sarekat Islam
Bagikan

sumber : http://jejakislam.net/ketika-priyayi-sumedang-menentang-sarekat-islam/
Oleh: Naufal Al-Zahra – Pegiat Sejarah dan Tasykil Bidang Hukum, HAM, dan AKP PW Pemuda Persis Jawa Barat

Awal abad ke-20 menjadi tonggak perubahan yang signifikan bagi nasib kaum bumiputra di Hindia Belanda. Kebijakan Politik Etis yang resmi diberlakukan pada 1901 menjadi faktor yang amat menentukan masa depan sebuah tanah koloni Belanda di sebelah timur ini.

Setelah kebijakan tersebut diterapkan, Pemerintah Hindia Belanda menyadari  kebijakan yang dibuatnya dapat berpotensi menjadi pisau bermata dua. Di satu sisi, ia dapat membantu mengakomodasi berbagai kepentingan penjajahan. Sementara, di sisi yang lain, ia dapat menjadi bom yang sewaktu-waktu meledak, membangkitkan kesadaran kaum bumiputra bahwa tanah airnya sedang dirundung penjajahan.

Elite Sosial Baru

Akses pendidikan yang dibuka bagi kalangan bumiputra sebagai wujud program dari Politik Etis mendorong lahirnya kaum muda terpelajar. Kemunculan mereka ini diiringi oleh semangat membentuk ikatan persatuan melalui organisasi pergerakan.

Kaum terpelajar tampil menjadi elite sosial baru yang memengaruhi kepemimpinan kaum bumiputra. Sekalipun, sebagian besar di antara mereka ini terlahir dari keluarga priyayi. Akan tetapi, mereka memilih jalan yang berlainan dengan orang tuanya. Mereka turut berkecimpung dalam kehidupan rakyat di akar rumput dan sanggup memimpin mereka melalui organisasi pergerakan.

Seiring waktu, keberadaan para pemimpin organisasi pergerakan dipandang sebagai saingan oleh sejumlah priyayi. Sebagai pemangku otoritas tradisional, kaum priyayi khawatir wibawa mereka akan tergerus oleh kehadiran pemimpin-pemimpin organisasi yang memperoleh dukungan massa yang tak sedikit jumlahnya.

Sarekat Islam (SI) merupakan organisasi yang mendapatkan dukungan hebat dari kalangan bumiputra. Hadji Oemar Said Tjokroaminoto (w. 1934), masyhur dikenal sebagai pemimpin utama organisasi ini. Tidak seperti orang tuanya yang berstatus sebagai priyayi di Ponorogo, Tjokroaminoto memilih untuk menanggalkan semua atribut kepriyayiannya.

SI menjadi organisasi paling berpengaruh di Hindia Belanda pada awal abad ke-20. Sifat kerakyatan SI membuatnya begitu digandrungi oleh nyaris seluruh kalangan bumiputra yang umumnya beragama Islam dan terdiri atas kaum mustadh’afin.

Sumber foto: Tim Buku Tempo. 2013. Tjokroaminoto, Guru Para Pendiri Bangsa. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia

Priyayi Sumedang Gamang

Menjelang paruh kedua abad ke-20, jumlah anggota SI sempat menyentuh angka 2 juta orang. Jumlah massa SI yang sedemikian besar ini bukan hanya menyebabkan Pemerintah Hindia Belanda cemas. Sebagian kaum priyayi yang telah lama menjadi mitra bagi Pemerintah Hindia Belanda rupanya turut merasakan kekhawatiran serupa.

Salah satu priyayi yang menaruh rasa tidak senang terhadap pergerakan SI ialah Raden Aria Soeria Atmadja (w. 1921). Dikenang dengan gelar Pangeran Mekah, ia adalah seorang priyayi Sunda (baca: ménak) yang pernah menjadi Bupati Sumedang pada 1882 hingga 1919.

Sikap antipati Soeria Atmadja pada SI tertuang dalam surat pribadinya yang dikirimkan pada Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Surat dari priyayi Sumedang ini dipublikasikan oleh beberapa media massa, sehingga sikap ortodoksnya diketahui secara luas oleh publik.

Transkrip isi surat Soeria Atmadja berbahasa Melayu diuraikan secara utuh dalam sebuah artikel berjudul “Menabuh Genderang Perang: Pemberontakan Sarekat Rakyat di Priangan Timur” yang diterbitkan majalah ilmiah Historia Soekapoera Vol. 4, No. 1, 2016.

Raden Aria Soeria Atmadja. Sumber foto: tropenmuseum.nl

Di muka, tertulis bahwa Soeria Atmadja mengirimkan suratnya dari Sindanglaya kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda di Istana Bogor pada 21 November. Tidak tertulis nama penguasa Hindia Belanda saat itu dan tahun berapa surat ini ditulisnya.

Apabila ditengok berdasarkan kronik yang paling logis, sosok yang dituju oleh surat Soeria Atmadja ini ialah Johan Paul van Limburg Stirum, Gubernur Jenderal Hindia Belanda yang menjabat pada 1916 sampai 1921. Sedangkan, surat tersebut ditulis antara 1919 sampai 1920, setelah Soeria Atmadja berhenti menjabat sebagai Bupati Sumedang pada 30 Mei 1919.

“Dengan ini toean poenja hamba. Pangeran Aria Soeria Atmadja, bekas regent Soemedang residentie Preanger Regengtschappen, mengadap dengan hormat pada Seri Padoeka, lantaran ia tidak bisa tahan lebih lama kesedihan dan kesoesahan hati jang karena lakoenja anak negeri.”[1]

Pada bagian berikutnya, Soeria Atmadja mengungkapkan perasaan kesalnya pada pergerakan kaum bumiputra yang dipelopori SI. Ia sebut, “makin lama anak negeri makin koerang adjar pada toeannja.”[2]

Soeria Atmadja menyatakan SI telah membuat kaum bumiputra bertingkah melampaui batas. “Sedjak vereeniging itoe didirikan, perboeatan jang ta’senonoh, kelakuan jang melewati garis makin terdjadi-djadi.”[3]

Ia juga sempat menyinggung insiden berdarah yang melanda Hadji Hasan Arif bersama pengikutnya di Garut pada 1919 yang menurutnya disebabkan oleh arogansi SI.

“Dari tempat jang djaoeh-djaeoh anak negeri datang menghadiri vergadering-vergadering (rapat umum), dalam mana kerap kali madjikan difitnah meskipoen hal itoe terlarang keras oleh agama Islam.”[4]

Soeria Atmadja lantas mengemukakan ketidakpercayaannya kepada SI. Lebih jauh, ia menjabarkan, SI telah menggunakan identitas Islam untuk menipu orang lain, termasuk memanipulasi jumlah keanggotaannya.

“Dapatlah saja memboektikan bahwa agama soedah disesatkan soepaja a) bisa menipoe Boemipoetra jang masih bodoh, b) orang2 jang beragama, serta orang jang memeloek agama lain, digerakan hatinja masoek S.I…, soepaja dapat kepertjaan dari orang2 bodoh….”[5]

Setelah bagian itu, Soeria Atmadja menyebut nama Raden Moechtar, anak Bupati Rangga Nata Nagara yang “tertipu” propaganda SI.

Bekas Bupati Sumedang ini lalu melontarkan kritik kepada Pemerintah Hindia Belanda karena sejak awal tidak bersikap keras pada SI serta membiarkan pemimpin SI yakni H.O.S.  Tjokroaminoto menjadi anggota Volksraad.

Rumah dari Regent Sumedang. Sumber foto: tropenmuseum.nl

Priyayi sepuh ini kemudian menyatakan kesetiaan keluarga besar priyayi Sumedang kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda secara turun temurun.

“Pasal saja sendiri, soedah berabad moelai dari toeroenan saja selamanja dengan setia pada Goebernemen…..Saja poenja nenek besar soedah ketakan teroes terang dalam koempoelan waktoe djatoehnja Batavia (1811-1816) jang soedah dimoeat dalam Volksalmanak tahoen 1919. Djadi lebih2 lagi saja tentoe haroes lebih setia pada Goebernermen.”[6]

Bagian itu disambung oleh penutup surat berupa ungkapan pujian dan harapan dari priyayi Sumedang ini kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda agar lekas menindak tegas SI.

“Soedi apalah kira toean-toean mendengar soerat saja ini, soepaja padoeka bikin HABIS itoe perkoempoelan Sarekat Islam dan pemimpin-pemimpinnja.”,[7] demikian tulis priyayi Sumedang ini dalam akhir suratnya.

Tidak Berpolitik

SI bukanlah satu-satunya organisasi yang tidak diberi ruang di Sumedang. Selama masa kepemimpinan Soeria Atmadja, arus aktivitas pergerakan yang membawa pembaharuan cenderung ditentang olehnya. Hal tersebut menjadi isyarat kuat, bahwa ia adalah satu dari segelintir priyayi yang loyal pada Pemerintah Hindia Belanda.[8]

Sebagaimana yang ditulis oleh Nina Herlina Lubis dalam Sejarah Sumedang Dari Masa ke Masa, bahwa kesetiaan Soeria Atmadja kepada Pemerintah Hindia Belanda menjadikannya masyhur dikenal sebagai, “bupati yang tidak berpolitik.”[9]

Oleh: Naufal Al-Zahra – Pegiat Sejarah dan Tasykil Bidang Hukum, HAM, dan AKP PW Pemuda Persis Jawa Barat


[1] Dharyanto Tito Wardani, Menabuh Genderang Perang: Pemberontakan Sarekat Rakyat di Priangan Timur, majalah Historia Soekapoera, Vol. 4, No. 1, 2016, hlm. 72

[2] Ibid.

[3] Ibid.

[4] Ibid.

[5] Ibid.

[6] Ibid.

[7] Ibid.

[8] Bentuk resistensi priyayi-priyayi Sumedang pasca wafatnya Raden Aria Soeria Atmadja, nampak dari pembentukan Sarekat Hedjo (SH) pada 1923. Di kawasan Priangan, perkumpulan ini kerap melakukan aksi teror kepada orang-orang SI dan Persatuan Islam (Persis). Lihat dalam Deliar Noer, Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900-1942. Jakarta: LP3ES, 1982, hlm. 219.

[9] Nina Herlina Lubis, dkk., Sejarah Sumedang Dari Masa ke Masa. Sumedang: Dinas Pariwisata dan Kebudayan Pemerintah Kabupaten Sumedang, 2008, hlm. 195.